Posts

Sejarah Desa Watu Belah Cirebon

Image
  Sejarah Desa Watu Belah Cirebon Konon ketika ke Gendeng Alang - alang dari galuh ke Cirebon karena dipanggil Prabu Siliwangi untuk mendapat titah mengepalai wilayah Cirebon, mau buka perdukuhan di Lemah Wungkuk, istirahat di bawah pohon beringin yang sangat rindang. Namun tercengang dengan keadaan wilayah yang banyak batu - batuan besar. Wilayah tersebut sangatlah beda dengan wilayah yang ditemuinya, karena banyak alang - alang, hutan jati dan pesawahan. Namun wilayah ini lain, banyak batu - batuan besar. Belum lagi keheranan hilang nambah heran lagi terdengar suara tangis bayi, di dalam batuan besar tersebut. Ketika itu juga di belah lah batuan tersebut hingga terpecah dua, sama bentuk, maka bayi tersebut di asuh dan di ajarkan keilmuan olehnya, dan dalam mimpinya bayi tersebut adalah anak dari bidadari atau sebangsa peri. Maka di namakanlah Selapada, karena dari batu yang dipecah terbelah dua sama besar. Dan dibuka suatu pemukiman penduduk oleh Ki Gendeng Alang - Alang di wilayah t

MASJID KERAMAT Ki BUYUT KEBAGUSAN PANGERAN PANJUNAN (SYEKH ABDURAHMAN).

Image
  MASJID KERAMAT Ki BUYUT KEBAGUSAN PANGERAN PANJUNAN (SYEKH ABDURAHMAN). Dalam sejarah Cirebon disebutkan bahwa Pangeran Panjunan merupakan orang yang mula-mula mendirikan Masjid Panjunan, Masjid tua yang didirikan lebih dahulu ketimbang Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon. Pendiri desa Sitiwinangun sendiri adalah Syekh Dinurja yang sejatinya adalah murid dari Syekh Abdurahman atau Pangeran Panjunan yang menyebarkan agama islam di Sitiwinangun pada masa itu sekitar abad 15 dan beliau setelah berhaji mendapatkan gelar Ki Mas Ratna Gumilang kemudian beliau mendirikan masjid keramat Kebagusan yang sekarang atas perintah dan restu dari Syekh Abdurahman dan beliau Syekh Dinurja mendapat titipan sebuah Musab Al Quran yang di tulis melalui tulisan tangan dari gurunya sendiri untuk dirawat dan menyebarkan agama islam di tanah Sitiwinangun. Pangeran Panjunan nama aslinya Pangeran (Syekh Abdurahman), merupakan Pangeran dari Bagdad yang terusir dari Negerinya. Syekh Abduraham adalah putra Syekh Nurja

SEJARAH DESA SUMBERJAYA KEC.CIWARU KUNINGAN

Image
  SEJARAH DESA SUMBERJAYA Sumberjaya adalah nama sebuah desa yang ada di Kecamatan Ciwaru, Kabupaten Kuningan. Kata Sumberjaya secara bahasa berasal dari kata “Sumber” dan “Jaya”. Sumber berarti asal, sedangkan jaya artinya adalah hebat atau berhasil. Dengan kata lain, kata sumberjaya secara tidak langsung merupakan kata yang menunjukkan bahwa tempat ini adalah tempat yang dapat menghasilkan kehebatan, kebesaran, dan kesuksesan. Terdapat ungkapan dalam bahasa Sunda bahwa Sumberjaya adalah “sumber kajayaan dangiangna jayadiningrat simbolna gajah gumuling anu kasebat jalma jaya di jaya nyaeta hiji kakuatan anu disebut lahir batin”. Meskipun demikian, tidak diketahui secara pasti sejak kapan nama Sumberjaya digunakan untuk menyebut daerah yang berlokasi di wilayah Kecamatan Ciwaru ini. Konon, menurut cerita sejumlah orang, desa ini telah dikenal sejak zaman Prabu Siliwangi. Bahkan orang-orang tersebut berkeras bahwa tempat-tempat yang disebutkan dalam Legenda Lutung Kasarung terdapat di

Sejarah Desa Garajati

Image
  Sejarah Desa Garajati Menurut catatan sejarah yang ada di desa, asal muasal Garajati berasal dari peristiwa berubahnya sebuah tongkat yang menjadi pohon jati. Tidak jelas kapan terjadinya peristiwa ini, catatan itu hanya menyebut bahwa kejadiannya sudah ada sebelum tahun 1915 M. Tongkat yang dimaksud itu adalah tongkat yang konon merupakan pasak bagi perlindungan masyarakat dari anasir-anasir negatif yang kapan saja bisa datang dan melanda desa. Dalam lanjutan catatan itu dituliskan bahwa tongkat yang dianggap sebagai pelindung desa tadi berkaitan dengan Buyut Muhamad Toha, sosok yang dianggap masyarakat setempat sebagai seorang wali penyebar agama Islam. Pada awal kedatangannya ke daerah yang kelak bernama Garajati itu, Muhamad Toha muda berselisih dengan pemuda lain karena memperebutkan hati gadis jelita setempat yang bernama Dewi Ayu Sekar Sejagat. Singkat kata, pemuda lain yang namanya tidak dikenal tersebut kalah dan terlempar dalam sebuah duel sehingga mengakibatkan sebuah batu

Sejarah Desa Cilimus Kuningan

Image
  Sejarah Desa Cilimus Kuningan Secara etimologi Cilimus berasal dari kata “cai” dan “limus” atau “cailimus” disingkat “Cilimus”. Secara terminologi, Cilimus sebagaimana umumnya nama suatu tempat di tatar sunda selalu di awali dengan kata “Ci” atau “Cai” (air) yakni suatu Padukuhan atau tempat berdiamnya suatu komunitas masyarakat di tatar Sunda yang ditempat tersebut banyak terdapat pohon Mangga Limus disepanjang sungai Cibacang. Cibacang sendiri berasal dari kata “cai” dan “embacang” atau nama lain dari mangga limus juga. Sungai tersebut mengalir dari lereng gunung Ciremai terus membujur ke arah timur hingga memasuki dan melewati suatu kampung yang bernama Tarikolot, suatu kampung (umbul, menurut istilah setempat) sebagai pusat pemerintahan Pakuwon (Pakuwuan) Cilimus sebagai cikal bakal nama Desa Cilimus dimasa kini. Nama Pakuwon Cilimus mulai dipakai saat pemukiman ini mulai dipimpin oleh tokoh yang bernama Ki Buyut Sacawana yang saat itu masuk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Kas

BABAD DESA KALIAREN

Image
  BABAD DESA KALIAREN Kaliaren adalah salah satu desa di utara Kuningan yang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Cilimus. Mayoritas penduduk desa ini adalah perantau yang melanglangbuana ke pelbagai macam kota besar di Indonesia. Ihwal sejarah desa ini, bisa disusuri melalui toponimi desa yang mana kata “Kaliaren” tersebut berasal dari kata “Kali” dan “Aren.” Kali karena di desa itu terdapat sungai yang mengalir hingga melewati beberapa desa lainnya, dan aren karena dulu di tempat itu banyak sekali pohon yang disadap sehingga menghasilkan gula aren. Babad Cirebon mengonfirmasi mengenai kehadiran para petani aren di bawah kaki Gunung Ciremai tersebut, dan hal itu menjadi bukti yang tidak bisa dibantah mengenai eksistensi suatu daerah. Menurut cerita yang dicatat desa, Kaliaren adalah tempat beristirahatnya Sunan Gunung Jati bersama rombongan ketika akan melakukan perjalanan ke Gunung Ciremai. Meski demikian, folklor ini mesti diteliti kembali keabsahannya berdasarkan sumber-sumber yang